Oleh Arifah Wahyuning Tyas
Karya sastra berjudul Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru. Dalam novel tersebut, berlatar kisah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 saat Hindia Belanda masih berkuasa di Indonesia. Nyai Ontosoroh merupakan salah satu tokoh sentral dalam novel tersebut. Ia, merupakan seorang gundik dari Tuan Herman Mellema.
Nyai Ontosoroh bukanlah nama aslinya. Semula, namanya adalah Sanikem. Sanikem kecil merupakan gadis yang lugu dan cantik, berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Sanikem hidup dalam lingkungan yang kental dengan budaya patriarki, ditambah pola kebangsawanan yang begitu kuat, sehingga ia hanya hidup di dalam rumah saja dan jauh dari dunia pendidikan. Ayahnya adalah seorang juru tulis pada pabrik gula di Tulangan bernama Sastrotomo. Dia adalah tipe laki-laki yang haus akan harta dan tahta. Cita-cita Sastrotomo adalah menjadi juru bayar, dia melakukan apa saja untuk mencapai cita-cita tersebut, tidak segan dia berkhianat dan menjilat. Pada suatu ketika, dijual lah Sanikem kepada pengusaha Belanda bernama Herman Mellema oleh ayahnya, di usia Sanikem yang masih 14 tahun. Dari situlah kemudian Sanikem membenci ayah dan ibunya. Sementara sebutan Nyai sendiri merupakan nama sematan bagi perempuan yang dijadikan gundik atau perempuan peliharaan serdadu atau pejabat Belanda di era kolonial. Walaupun dia menikah dengan seorang Eropa, tapi seorang Nyai tidak mendapatkan hak asasi yang pantas sebagai seorang manusia. Kehidupan yang berbeda dialami oleh Sanikem setelah hidup bersama Herman Mellema. Herman Mellema banyak mengajarkannya pendidikan Eropa. Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, berhitung, tata niaga, budaya, Bahasa Belanda, Bahasa Melayu, hukum yang mungkin akan berguna untuk anak-anaknya kelak. Nyai Ontosoroh juga mengelola perusahaan milik suaminya sampai akhirnya perusahaan tersebut sebagian menjadi miliknya.
Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia digambarkan sebagai seorang perempuan yang berani menggugat kedudukan perempuan Jawa yang dianggap hanya sekedar pajangan dan pemuas nafsu laki-laki semata. Dengan cara berpikir yang melampaui pemikiran kebanyakan perempuan pada masanya, Nyai Ontosoroh tak sekedar memperjuangkan hak-haknya melainkan juga mendobrak tradisi jahiliyah yang menempatkan perempuan hanya setara dengan uang dan jabatan.
Penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh oleh Pramoedya Ananta Toer, menarik untuk ditinjau dari perspektif feminisme. Novel Bumi Manusia berhasil menyuarakkan isu ideologis terhadap perempuan, yang memperjuangkan haknya dalam bidang ekonomi, hukum, politik dan kehidupan sosial ketika kolonialisme menancapkan kuku nya. Gerakan feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang memarginalisasikan, mensubordinasikan dan merendahkan perempuan—yang disebabkan oleh perjalanan kebudayaan dominan (patriarki), baik dalam bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial pada umumnya. Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang menempatkan lebih rendah dari laki-laki, memiliki perjuangan seumur hidup. Termasuk dalam pemaknaan gender yang bias. Gender merupakan konsep yang dibentuk oleh masyarakat dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Jadi, gender dikonstruksikan secara sosial maupun budaya, sehingga dibentuk karena kodrat seperti halnya laki-laki dan perempuan dibedakan karena jenis kelamin. Konsep gender sangat dipengaruhi oleh tata nilai, baik nilai sosial maupun budaya. Ada perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai suatu bangsa dengan bangsa lain, dan antar masyarakat. Oleh karena itu, kedudukan, fungsi, peran antar laki-laki dan perempuan di suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya.
Untuk itu, penokohan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia sebenarnya cukup kuat dan mampu mendobrak kecenderungan perempuan masa itu. Pram dengan begitu menariknya telah mencuatkan sosok perempuan yang berani, cerdas, dan menolak kemapanan iklim feodal pada masa itu. Maka dari itu, menjadi menarik pula untuk mulai menafsirkan sosok Nyai Ontosoroh dalam term feminisme. Mengingat, feminisme saat ini telah sedemikian berkembang, dan mulai menjadi discourse yang cukup diminati, baik di negara maju ataupun di negara berkembang. Sementara itu, Bumi Manusia dengan tokoh utamanya Nyai Ontosoroh, pernah pula dipentaskan dalam bentuk teater pada bulan Desember 2006 di 12 kota secara serentak (Padang, Lampung, Bandung, Semarang, Solo, Jogja, Surabaya, Denpasar, Mataram, Makassar, Kendari, Pontianak). Naskah adaptasi ditulis oleh Faiza Mardzoeki dan disesuaikan dengan budaya setempat di kota-kota tersebut. Khusus untuk pementasan di Jakarta, dilakukan pada bulan Agustus 2007 dengan sutradara Wawan Sofwan. Pementasan Nyai Ontosoroh ini sekaligus merupakan satu ajang berkesenian untuk memperingati perayaan Hari Hak Asasi Manusia dan Hari Perempuan Indonesia yang kedua-duanya jatuh pada bulan Desember. Hal ini menjadi bukti bahwa Pramoedya Ananta Toer, diluar kecenderungan ideologisnya, telah mampu membuat karya yang sangat luar biasa, dengan menokohkan sosok Nyai Ontosoroh yang berkepribadian kuat dan berperilaku berbeda, dengan kecenderungan perempuan pribumi, pada masa itu.
Gambar: Lukisan Basoeki Abdullah

Berdiri sejak tahun 2016. Kalamkopi.id adalah media kolektif untuk segala macam penulis dan pembaca.
Nyai ini memang sangat luar biasa. Tokoh yang awalnya lugu dan tidak tau apa-apa terhadap dunia luar ini berhasil menjadi sosok yang mandiri dan tangguh. Bahkan tidak kalah dengan wanita Eropa. Karena pada dasarnya, baik pribumi maupun Eropa, memiliki kemampuan yang sama dalam berbagai aspek seperti mencerna pelajaran, bertingkah-laku, dan juga bertutur-kata.
setuju mas. sehat selalu ya