Penerimaan
Jika harus kujelaskan
Bagian mana yang kau tak paham?
Jika harus kita bernyawa
Bagaimana cara kau hidup dan menjaga?
Sehari hidup sehari mati
Sehari hirup sehari hirup lagi
Semakin banyak hirup
Banyak lagi yang sesak sekarat dan mati
Udara sekarang mahal
Dan lestari masih jadi slogan
Belum ada program
Selain babat bakar dan tanam bangunan-bangunan
Yang mengalir dari hulu ke hilir
Hanya limbah dan sampah serapah
Rumah-rumah terang
Dihiasi nyala-nyala nyawa yang dibakar
Sebagai penggerak turbin kehancuran
Kita tertahan dan tak berupaya
Menunggu nasib yang dibilang musibah
Jika suatu nanti terjadi celaka
Sudah genap Tuhan penyebabnya
Dalam bentuk takdir yang mesti diterima
Dan penerimaan harus bisa lebih lapang lagi
Ketika sadar pembangunan adalah juga kerusakan kita hanya sempat bergumam sebentar
“Ya begitulah manusia adanya”
2 Juli 2019
Padam
Malam berisik dan terjadi apa-apa
Kau menangis untuk kali pertama
Kesedihan telah terbawa dan berbiak selagi bisa
Saat itu kau mulai mengenal api dan gemar bercerita
Ada yang terbaring dan terbakar di segala aliran dalam tubuh
Memerah dan marah segera merekah sekian waktu
Sangat lama
Kau bertanya dan selalu begitu
Malam berisik dan terjadi apa-apa
Langkah kau berhenti di sana
Entah juga tak bernama
Siasat memberontak disusun
Kau mengamati sebelum memutuskan mati
Dan “kenapa” tak pernah berhenti kau ucap
Kepada apa yang kau lihat dan dengar
Demi para pemilik nyawa
Kau ingin mengakhiri namun sudah kepalang jauh rupanya
Di sini sekarang kau berada
Kehilangan kata-kata
Satu-satunya yang kau punya
Dengan purnama kau bersepakat
Kesedihan hanya bisa terbayar
Oleh apa yang tak sempat kau bayangkan
Kau berhenti akhirnya
Luruh mengalir melewati retakan jawaban
Dan mestilah segala pertanyaan kalah
Malam berisik dan terjadi apa-apa
4 Juli 2019
Bawa Kabar Ini
Kabarkan kabarkan ke segala penjuru
Jangan boleh ada rumah dan kamar tidur yang nyaman, bersih dari berita
penggusuran, penindasan, perampasan, dan hilangnya kemanusiaan
kita akan merembes lewat ventilasi, celah pintu, dan pori-pori dinding beton atau kita racuni pula AC-nya dengan kabar adanya ketakadilan
Jangan boleh ada kampus yang papan tulisnya penuh teori dan rumus juga nama-nama asing yang terdengar agung bak cendekia paling mulia namun terlepas dari persoalan kehidupan
Kita serang tidur mereka dengan mimpi-mimpi buruk dan hantu yang berwujud lembar lembar anggaran
Jangan boleh kampus-kampus penuh mahasiswa apolitis steril dari warta duka penderitaan
Kita selimuti tidur mereka dengan suara tangis orang-orang kehilangan rumah, sawah, dan lahan
Kita akan menjalar pula di dinding kantor kantor dinas dan pemerintahan yang lupa rakyatnya. Yang lupa apa tugasnya. Yang lupa siapa rajanya. Rakyat atau si empunya modal kuasa.
Berbarengan kita gerogoti sumsum tulang sesiapa pengendara pelat merah yang merahnya tak lebih merah dari dadaku
Ialah orang yang sama yang membikin jari kita ungu beberapa bulan lalu
Rampas yang seharusnya pantas dirampas. Kembalikan keadilan dan kepastian hukum yang jamak menjadi paket komplet di negara demokrasi. Yang sudah lama sama-sama kita ketahui telah dicuri. Di depan mata sendiri
Jika kita berkumpul berjuang di barisan kemanusiaan barang mungkin kita dianggap melawan hukum yang mereka ciptakan. Tapi kita punya tekad sudah bulat. Dan lebih dari mungkin, hukum yang mereka karang akan kita kalahkan.
Memang perkara apa yang lebih penting dari ruang dan keberlangsungan hidup? Siapa yang lebih berhak melenyapkan nyawa? Mungkinkah mereka para pemilik modal yang sedang ongkang-ongkang sambil mencucuk hidung pemegang pemerintahan.
Yang dengan ringannya memaksa singkarkan ratusan pasang mata dan nyawa. Agar tahi dan kencing lancar mengalir demi estetika tata kota paling modern dan mutakhir.
Yang dengan entengnya membabat habis hutan, sawah dan lahan lalu sembunyi tangan.
Jelas ini bukan bencana, ini rencana! Lewat undang-undang dan peraturan tentang bagaimana seharusnya hidup dan menjadi warga negara yang baik di peradaban luar biasa. Yang tak pernah bisa kupahami sepenuhnya.
demi bangsa dan negara, permukiman di bantaran harus mau digasak diporak-porandakan.
Rumah-rumah dikuliti hingga tak berbentuk
Atapnya raib dan seluruh perabotan remuk
Banyak lahan dibalik dan dikeruk
Sawah-sawah patah hati kehilangan padi
Petani nelangsa mempertahankan tanah besoknya tak punya kepala
Sejahtera hanya jelas terbaca di baliho kampanye mereka. Tapi kenyataan lebih jauh daripadanya.
Kukabarkan lewat puisi ini rakyat telah dikhianati.
Semarang, 20 Mei 2019
Abi Fathe, pegiat komunitas sastra Alas Semarang dan pustakawan perpustakaan swadaya Teman Baca

Berdiri sejak tahun 2016. Kalamkopi.id adalah media kolektif untuk segala macam penulis dan pembaca.